RADARMETROPOLIS: Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta mengecam keras aksi kekerasan dan upaya penghalangan kerja jurnalis
yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun massa aksi saat meliput demo 21-22
Mei. Aparat keamanan dan masyarakat didesak untuk tidak mengintimidasi serta
menghalangi kerja jurnalis di lapangan.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebut terjadi di
beberapa titik kerusuhan di Jakarta. Yakni di kawasan Thamrin, Petamburan, dan
Slipi Jaya, Jakarta.
Jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput aksi
unjuk rasa berujung kerusuhan pada 21-22 Mei, makin bertambah. Data sementara
yang dicatat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ada dua puluh jurnalis
dari berbagai media yang menjadi korban.
“Pihak kepolisian dan massa aksi diduga menjadi pelaku
kekerasan tersebut,” kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani Amri, melalui
pernyataan tertulisnya hari ini.
Kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan,
penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja jurnalistik,
penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu
hingga pembakaran motor milik jurnalis.
Kasus kekerasan yang dialami para jurnalis itu sebagian
besar terjadi saat para jurnalis meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung
Bawaslu, di kawasan Thamrin.
“Beberapa kasus diantaranya, aparat kepolisian melarang
jurnalis merekam aksi penangkapan orang-orang yang diduga sebagai provokator
massa,” ujar Asnil.
Diungkapkan lebih lanjut, para jurnalis tersebut tetap
mengalami kekerasan meskipun mereka sudah menunjukkan identitasnya, seperti
kartu pers kepada aparat. Aparat menunjukkan sikap tak menghargai kerja
jurnalis yang pada dasarnya telah dijamin dan dilindungi oleh UU Pers.
Sampai saat ini AJI Jakarta masih mengumpulkan data dan
verifikasi para jurnalis yang menjadi korban. Tak menutup kemungkinan masih
banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban, tetapi belum melapor.
Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, menambahkan bahwa
atas tindakan itu AJI Jakarta dan LBH Pers mengecam keras aksi kekerasan dan
upaya penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun
massa aksi.
Ia pun menyatakan, kekerasan dan intimidasi terhadap
jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan bisa dikategorikan sebagai sensor
terhadap produk jurnalistik. Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang
diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara
maksimal dua tahun dan denda maksimal Rp500 juta.
Ia juga mengimbau kepada para pimpinan media massa untuk
bertanggung jawab terhadap keselamatan jurnalisnya. Keselamatan jurnalis harus
dijaga dan diutamakan
“Kami mendesak aparat keamanan dan masyarakat untuk
menghormati dan mendukung iklim kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta
menghalangi kerja jurnalis di lapangan,” katanya.
0 comments:
Posting Komentar