RADARMETROPOLIS: Surabaya – Guru Besar Ilmu Hukum dari
Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya Prof. Dr. Sardjijono, SH, M.Hum,
menilai ada Something Wrong, jika labfor menyatakan sebuah surat adalah palsu
hanya dengan memeriksa dokumen berbentuk fotocopy. Ia didatangkan sebagai ahli
oleh penasehat hukum Asifa, pada persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri
Surabaya, Kamis (08/03/2019).
Dalam persidangan praperadilan atas penetapan tersangka pada
Asifa itu, pakar hukum pidana, ilmu administrasi dan Ilmu Kepolisian tersebut juga
menjelaskan banyak hal, termasuk ketentuan memohonkan praperadilan di
pengadilan, bukti dan alat bukti yang sah, hingga bagaimana sebuah surat yang
dijadikan barang bukti kemudian diajukan di persidangan sebagai alat bukti,
namun hanya berupa fotocopy tanpa ada aslinya.
Di awal persidangan, Sardjijono menjelaskan tentang aturan
permohonan gugatan praperadilan. Menurutnya, permohonan praperadilan itu diatur
di pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21/ PUU-XII/tahun
2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
“Sebelumnya, praperadilan itu hanya mengenai sah atau
tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya penahanan, sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan, ganti rugi maupun rehabilitasi,”
terangnya.
Dengan diterbitkannya Putusan MK nomor 21/ PUU-XII/tahun 2014
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
materi permohonan praperadilan diperluas, masuk pada sah atau tidaknya
penetapan tersangka, sah atau tidaknya penyitaan.
Terkait penetapan tersangka, ia menjelaskan bahwa hal itu
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam KUHAP
tersebut dinyatakan bahwa penetapan tersangka adalah kewenangan penyidik.
“Syarat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, jika
kita berpijak pada putusan MK nomor 21 tahun 2014, harus ada syarat minimal dua
alat bukti sebagaimana dirumuskan dalam pasal 184 KUHAP. Ini adalah normatifnya
yang tercantum dalam Putusan MK tersebut,” jelas Sardjijono.
Ia melanjutkan, bahwa dalam praktik hukum, di tingkat
penyidikan, Putusan MK Nomor 21 tahun 2014, tidak bisa dipenuhi penyidik. Dikarenakan
pasal 184 KUHAP ayat (1) huruf (a) sampai (i) menyatakan bahwa alat bukti yang
sah adalah menjadi domain lembaga peradilan, bukan dalam penyidikan.
“Maka dalam pasal 185 KUHAP, dijelaskan bahwa keterangan
saksi itu yang bagaimana, keterangan ahli itu yang bagaimana, dan sebagainya,
terakhir adalah keterangan terdakwa. Terhadap Putusan MK nomor 21 itu
sebenarnya tidak menganulir adanya bukti permulaan,” ungkap ahli.
Bukti permulaan itu diperuntukkan bagi penyidik. Maka
tatanannya dari barang bukti menjadi bukti dan kemudian menjadi alat bukti. Dan
alat bukti ini menjadi kewenangan hakim untuk menetapkannya, menjadi alat bukti
atau tetap menjadi bukti saja.
Kemudian hakim Jan Manopo meminta ahli untuk menjelaskan
tentang bukti permulaan. Ahli pun menjelaskan bahwa bukti permulaan adalah
barang-barang yang ada kaitannya dengan suatu peristiwa pidana dan dijadikan
sebagai barang bukti.
“Barang bukti ini akan menjadi alat bukti ketika telah
melalui proses hukum dimana barang-barang yang akan dijadikan bukti itu harus
melalui proses sahnya suatu barang menjadi bukti, yaitu harus ada syarat formil
yang dipenuhi penyidik,” papar ahli
Jika barang itu adalah barang yang diperoleh dari penyitaan,
kemudian diajukan menjadi bukti maka harus seizin ketua pengadilan. Walaupun
barang sudah disita namun jika prosesnya tidak ada izin dari ketua pengadilan
maka tidak bisa dijadikan bukti.
“Kemudian, juga ada syarat lain. Ketika barang yang disita
itu sebagai barang yang tidak bergerak, maka dalam kondisi tertentu, penyidik
bisa melakukan penyitaan. Setelah melakukan penyitaan, harus tetap meminta
persetujuan penyitaan ketua pengadilan,” kata ahli.
Terkait syarat-syarat yang lain, ahli menerangkan bahwa harus
dibuatkan berita acara penyitaan dan sebagainya. Inilah merupakan suatu proses
untuk menjadi bukti.
Lalu Jan Manopo menanyakan apa bedanya barang bukti dengan
alat bukti? Ahli menjawab bahwa barang bukti ada di tingkat penyidikan sampai
dengan prapenuntutan. Ketika bukti yang telah disajikan itu dibawa ke sidang
pengadilan, akan dinilai hakim yang memeriksa perkara. Ketika diakui sebagai
alat bukti oleh hakim, akan digunakan sebagai dasar, sebagaimana dijelaskan
dalam pasal 183 KUHAP, minimal dua alat bukti yang sah, untuk menjatuhkan
seseorang itu bersalah atau tidak bersalah.
“Jadi singkatnya, alat bukti itu sudah dibawa ke
persidangan, sedangkan barang bukti adalah suatu barang-barang yang dijadikan
bukti dalam proses penyidikan. Barang bukti masih belum bisa dijadikan alat
bukti,” kata ahli.
Jadi, yang menilai sebuah barang bukti menjadi alat bukti
adalah hakim, bukan penyidik. Dan penyidik tidak akan bisa menetapkan sesuatu
menjadi alat bukti, apalagi alat bukti yang sah.
“Sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) huruf (a)
sampai huruf (e) sangat jelas sekali bahwa di dalam pasal 184 KUHAP ini alat
bukti yang sah ialah keterangan saksi. Dan keterangan saksi sebagaimana
diterangkan dalam pasal 184 ayat (1) tadi diterangkan dalam pasal 185 ayat (1)
KUHAP,” papar ahli.
Lebih lanjut ahli menjelaskan bahwa keterangan saksi,
sebagai alat bukti, ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Jadi,
alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) huruf (a)
tadi ketika keterangan itu saksi sampaikan di persidangan, bukan pada
penyidikan. Maka, jika di tingkat penyidikan, keterangan saksi itu tidak bisa
dimasukkan sebagai alat bukti yang sah tetapi menjadi bukti.
Ketika mendapat giliran bertanya kepada ahli, tim penasehat
hukum pemohon bertanya tentang surat sebagai alat bukti yang sah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) huruf (c) KUHAP. Selain itu juga meminta ahli
untuk menjelaskan tentang kekuatan bukti surat yang disita berupa fotocopy.
Menjawab pertanyaan tersebut ahli menjawab bahwa bukti surat
yang disita itu bisa menjadi alat bukti yang sah atau tidak dan mempunyai
hubungan peristiwa pidana, sesuai dengan penilaian penyidik, artinya penyidik
yang akan menilainya apakah surat-surat yang dikumpulkan itu mempunyai hubungan
atau tidak dengan peristiwa pidananya.
“Bagaimana dengan kekuatan hukum surat yang hanya berupa
fotocopy? Pembuktian surat sebagai konteks alat bukti harus dikesampingkan
dengan konsep makna alat bukti yang sah karena surat adalah bukti formil.
Konsep bukti formil hanya ada pada sengketa perdata,” jelas ahli.
Di sengketa pidana, bukti surat adalah materiilnya. Mencari
bukti materiil kemudian untuk mewujudkan kebenaran materiil, ini di dalam
konsep pidana. Namun di dalam perdata adalah formil. Surat adalah bentuk formil
untuk mendukung bukti materiil.
Jika surat adalah formil maka harus berpijak pada hukum perdata.
Dalam hukum perdata diatur dalam pasal 1888 KUHPerdata, bagaimana kekuatan
bukti surat tadi yang dalam asasnya dan sifatnya adalah formil.
Dijelaskan dalam pasal 1888 KUHPerdata itu, kekuatan pembuktian
suatu bukti tulisan, termasuk surat, adalah pada akte aslinya. Apabila akte
yang asli itu ada, maka salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar, hanyalah dapat
dipercaya karena salinan-salinan itu atau ikhtisar-ikhtisa itu sesuai dengan
aslinya. Sehingga menurut pasal 1888 KUHPerdata, kalau ada surat yang dijadikan
bukti, harus ada aslinya.
“Kita kemudian berpijak pada Putusan MA nomor
3609K/perdata/1985 dan Putusan MA nomor 112/perdata/1998. Di Putusan MA nomor
3609/Perdata/1985 dinyatakan, surat bukti fotocopy yang tidak pernah diajukan
atau tidak pernah ada aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti,” jelas
ahli.
Dalam Putusan MA Nomor 112 tahun 1998 tanggal 17 September
1998, dalam amar putusannya menegaskan bahwa fotocopy surat tanpa disertai
dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan keterangan saksi dan alat bukti lainnya,
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan di
pengadilan.
Lalu bagaimana jika surat yang diajukan pelapor ke termohon
berupa fotocopy dan surat itu kemudian diperiksa di laboratorium forensik
(Labfor) Polri cabang Polda Jatim.
Menjawab pertanyaan tersebut ahli berpendapat, bahwa surat
yang dipalsukan, harus ada formil yang mendukung tentang itu.
“Akan menjadi sebuah tanda tanya besar, jika yang diperiksa
di labfor itu hanya berupa fotocopy tanpa ada aslinya. Ini ada sesuatu atau
something wrong. Jika bicara tentang konteks pemalsuan, baik itu surat palsu
atau surat yang dipalsukan, pasti ada aslinya untuk dinilai dan harus ada
pembanding, mana yang asli dan mana yang dipalsukan,” tegas ahli.
Menurut ahli, adanya surat asli itu adalah syarat formil
dalam suatu pengujian perkara pemalsuan. Tidak mungkin labfor akan melakukan
pengujian tanpa disertai dengan surat aslinya. Jika tetap dipaksakan, maka hal
itu harus dipertanyakan. Kesimpulannya, fotocopy tidak bisa dipakai sebagai
alat bukti yang sah.
Ahli juga menyinggung tentang penerapan pasal 263 ayat (1)
KUHP dan pasal 263 ayat (2) KUHP yang dijadikan acuan untuk menjadikan Asifa
sebagai tersangka. Terkait dengan kedua pasal itu, ahli secara tegas menyatakan
bahwa kedua pasal itu saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri.
Menurutnya, jika penyidik menjerat seseorang
dengan pasal 263 ayat (2), penyidik juga harus bisa membuktikan adanya
tersangka lain yang melanggar pasal 263 ayat (1). Karena menurut ahli, adalah
hal yang janggal jika penyidik bisa menjerat seseorang sebagai tersangka dugaan
tindak pidana menggunakan surat palsu, namun penyidik tidak bisa menemukan
siapa yang menjadi tersangka atau pelaku pembuat surat palsu, sebagaimana
diatur dalam pasal 263 ayat (1) KUHP. (rcr)
0 comments:
Posting Komentar