RADARMETROPOLIS: Surabaya - Lutfi, mantan ajudan Mustafa Kamal Pasha (mantan Bupati Mojokerto) bersaksi bahwa
dirinya berulang kali menjadi perantara dan mengantar uang miliaran rupiah
untuk mantan bosnya itu.
Setiap penyerahan uang, selalu ditaruh di meja ruang kerja
bupati. ’’Setiap ada titipan selalu saya taruh di meja ruang dinas,” ungkap
Lutfi, di persidangan tindak pindana korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri
(PN) Tipikor Surabaya, Senin (26/11/2018).
Terkait dengan aliran suap tower, Lutfi menerangkan sebanyak
tiga kali dirinya menerima dari Nano Santoso Hudiarto alias Nono dan
meletakkannya di meja ruang dinas. Untuk mengetahui asal pemberian, setiap ada
titipan uang, selalu diberi label.
Dari tiga kali aliran dana suap tersebut, hanya sekali Lutfi
bertemu langsung dengan MKP. Saat itu ia diperintah MKP untuk menghubungi Nono.
Ia tanpa pikir panjang langsung menelpon Nono yang akan
melakukan penyerahan uang. Hal ini berlanjut dengan pertemuan di tepi jalan,
dekat rumah dinas Walikota Mojokerto di Jalan Hayam Wuruk. Usai mengambil uang
tersebut, ia hendak menaruhnya di ruang dinas MKP.
Namun, ketika bertemu MKP yang tengah berada di teras,
bupati minta dananya agar di taruh di meja. "Saya bilang, ini titipan dari
Pak Nono. Dan saya diminta menaruhnya di meja,” ungkap ajudan yang kini
menjabat Kasubag di Bagian Umum, Setdakab Mojokerto itu.
Selain uang suap tower, Lutfi selama menjadi ajudan juga
kerap mendapat titipan dari sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Diantaranya setoran rutin dari Badan Pelayanan Terpadu dan
Penanaman Modal (BPTPM), Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispenduk
Capil), RSUD RA Basoeni, dan RSUD Soekandar, Mojosari.
Soal besaran uang titipan itu, Lutfi mengaku tak pernah
mengetahuinya. Jangankan menghitung, untuk membuka plastik atau isi bungkusan
itu, ia menyebut tak bernyali.
Tak hanya Lutfi yang terang-terangan mengungkap perilaku
koruptif mantan Bupati Mojokerto, MKP.
Vivin Kurnia Ardhany, mantan Kasi verifikasi penerbitan izin pemanfaatan tanah
di BPTPM, juga blak-blakan mengakui pernah melakukan setoran mingguan. Bahkan,
jika terlambat sehari saja, ia langsung dikontak ajudan. ’’Setoran biasanya
saya titipkan ke ajudan,” katanya.
Besaran uang setoran dari BPTPM tersebut disetorkan tiap
Jumat sore senilai Rp 20 juta. Uang itu merupakan hasil ’’uang terima kasih’’
dari pemohon perizinan yang bersumber dari empat bidang di lembaga tersebut.
Vivin menyebut, pemerintahan di bawah kepemimpinan MKP juga
memasang tarif setiap kali mutasi. Seperti yang ia alami saat promosi jabatan.
Untuk menjadi seorang kasi, ia harus membayar senilai Rp 50 juta.
Saat itu, ia bersama Suaida Hanum yang juga promosi menjadi
Kasi verifikasi penerbitan izin usaha dan perdagangan.
Dari keduanya, Vivin menyetorkannya ke Badan Kepegawaian,
Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) senilai Rp 100 juta. Namun, usai melakukan pembayaran atas kursi
jabatannya itu, tiga bulan kemudian, ia dinonjobkan.
Saksi yang cukup memberatkan MKP adalah mantan Kepala BPTPM
Bambang Wahyuadi. Ia menceritakan, selama proses suap berlangsung, proses
penyerahan uang kerap dilakukan di masjid. Ia mencontohkan, saat penyerahan
uang senilai Rp 550 juta dari mantan Wabup Malang, Subhan.
Saat itu Nono yang datang lebih awal memilih masjid
Roudlotul Jannah, Meri dan masjid di area perumahan Meri untuk transaksi.
Dana sebesar Rp 550 juta tersebut, hanya sebagai down
payment (DP) atas Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) 11 tower milik PT
Protelindo, masing-masing senilai Rp 50 juta.
DP yang diberikan Subhan rupanya cukup manjur mengelabuhi
MKP. IPPR pun diteken dan izin dikeluarkan. Namun, sisa komitmen senilai Rp
1,650 miliar tak kunjung diberikan. ’’Saya suruh menyobek izinnya karena
sisanya belum dibayar,’’ ungkapnya. (rcr)
0 comments:
Posting Komentar