RADARMETROPOLIS: Surabaya - Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi
Jawa Timur, Maruli Hutagalung, mengatakan bahwa ada potensi masyarakat kita makin
permisif terhadap korupsi. Menurutnya hal itu akan membahayakan negara kita.
Kekhawatiran tersebut disampaikan Maruli dalam seminar
pemberantasan korupsi yang digelar Asian Law Student Association (ALSA) di
Gedung Fakultas Hukum (FH) Unair Surabaya, Kamis (18/10/2018).
Dalam kesempatan tersebut ia membeberkan pentingnya semangat
antikorupsi ke ratusan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Mahasiswa dianggap sebagai pilar penting dalam membangun generasi antikorupsi
di masa depan.
"Kita prihatin, karena korupsi yang makin masif ini
rupanya menggerus integritas publik secara umum, bukan hanya dari sisi pelaku
korupsinya. Indeks Perilaku Anti-Korupsi di Indonesia makin menurun, yang
menunjukkan ada potensi masyarakat kita makin permisif terhadap korupsi. Ini
bahaya," ujar Maruli.
Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) menunjukkan tren
menurun. Pada 2017, sebesar 3,7, lalu turun menjadi 3,66 pada 2018. IPAK adalah
hasil riset BPS dengan ukuran bila mendekati angka 5, maka masyarakat semakin
antikorupsi. Sebaliknya, jika makin mendekati angka 0, maka masyarakat makin
permisif terhadap korupsi.
"Mahasiswa harus sadar bahaya ini, lalu bertekad dan
bergerak menjadi generasi antikorupsi. Jangan cuma nongkrong dan pacaran. Ayo
tanam perilaku disiplin antikorupsi dari diri sendiri. Mulai dari hal kecil,
misalnya jangan mencontek, jangan copy-paste tugas kuliah, jangan bohongi orang
tua soal uang jajan," tegas Maruli.
Ia pun mengungkapkan kerugian karena korupsi pun semakin
tinggi. Hanya dalam enam bulan pertama 2018, berdasarkan data Indonesia
Corruption Watch (ICW), nilai kerugian Negara karena korupsi sudah menembus
angka Rp 1,09 triliun dari 139 kasus korupsi yang terungkap dengan 351
tersangka. Kasus-kasus itu membentang dari kementerian sampai tingkat
kabupaten/kota.
Maruli menilai, korupsi marak karena belum optimalnya tiga
pendekatan, yaitu hukum, ekonomi, dan moral. "Pencegahan korupsi juga
masih jargon, karena belum berfokus pada perbaikan sistem hukum, ekonomi,
kelembagaan, dan perbaikan SDM," ujar Maruli.
Menurutnya, budaya korupsi makin masif karena iklim politik
yang masih berbiaya tinggi. Perilaku membeli suara masih banyak terjadi,
sehingga membuat kandidat politik berupaya mengembalikan modal saat terpilih
menjadi eksekutif maupun legislatif.
"Dalam hal ini, masyarakat perlu tegas untuk menolak
kandidat yang melakukan money politics. Kalau mau Indonesia bersih, ya tolak
money politics, karena hulu korupsi salah satunya datang dari sana. Caleg atau
calon kepala daerah harus mengembalikan modal kampanye, belum lagi kalau
ternyata modalnya hasil utang atau menggadaikan rumah mertua," kata Maruli
yang dua kali menyabet penghargaan sebagai kepala kejaksaan tinggi terbaik
dalam pemberantasan korupsi.
Dalam situasi korupsi yang makin marak, mantan Kajati yang pernah
berjasa mengembalikan aset Rp 200 miliar milik Pemkot Surabaya yang telah
puluhan tahun dikuasai swasta itu meminta pemberantasan korupsi harus dilakukan
semakin tersistematis dan berani tanpa pandang bulu.
"Orang pintar itu banyak, tapi yang berani dan bernyali
bisa dihitung jari. Sebagus apapun Undang-undang atau peraturan, jika aparatnya
tidak punya keberanian, ya percuma," pungkas Maruli yang tercatat pernah
membongkar sejumlah kasus besar di Jatim dan Papua. (rcr)
0 comments:
Posting Komentar