RADARMETROPOLIS: Surabaya - Rudy Marudut menggugat Asisten I
bidang Pemerintahan Sekretariat Kota (Sekkota) Surabaya, Yayuk Eko Agustin atas
tuduhan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum hingga menyebabkan kematian ibu
penggugat. Atas kerugian yang diderita, warga Banyu Urip tersebut menuntut
mantan Kepala BKD itu sebesar Rp 5 miliar
Gugatan perdata secara perorangan terhadap Yayuk Eko Agustin
itu dilakukan oleh Rudy Marudut (45) setelah dirinya dilaporkan pidana UU ITE
dan ditetapkan tersangka, Kamis (26/10).
Selain itu, akibat pelaporan yang dilakukan Yayuk Eko
Agustin tersebut, membawa dampak yang sangat fatal bagi Rudy Marudut. Akibat
dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian, orang tua Rudy
Marudut meninggal dunia.
"Karena shok, ibu saya meninggal, dan itu yang membuat
saya melakukan gugatan," kata Rudy Marudut.
Dalam sidang perdana gugatan tersebut, saat dilakjukan mediasi
pertama tergugat Yayuk Eko Agustin tidak datang. Yang terlihat hanya kuasanya
dari staf bagian Hukum Pemkot Surabaya. Majelis Hakim Pujo Saksono menolak dan meminta
Prinsipal (Tergugat) datang sendiri.
"Ini gugatan atas nama pribadi, bukan instansi
kedinasan. Tolong prinsipalnya yang hadir sendiri," tegas Pujo.
Namun, pada sidang mediasi kedua, Kamis (26/10/2017),
lagi-lagi Hakim Pujo marah. Dikarenakan tergugat Yayuk Eko Agustin kembali mangkir
dan hanya diwakili kuasa hukumnya.
"Kalian ini gimana, saya sudah bilang sebelumnya
Prinsipalnya yang datang, bukan diwakilkan. Sudah, sidang saya tutup!" kata
Hakim Pujo dalam nada tinggi.
Sementara kuasa hukum penggugat, Viktor A Sinaga, menyayangkan
tindakan Asisten I Pemkot Surabaya yang langsung main lapor atas konfirmasi yang
dilakukan penggugat. Menurutnya, secara tidak langsung laporan itu membuat
orang tua Rudy menjadi tertekan hingga meninggal dunia.
Viktor mengatakan bahwa asisten I Sekkota Pemkot Surabaya,
Yayuk Eko Agustin, itu oleh Rudy Marudut digugat karena telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di PN Surabaya. Rudy menuntut Yayuk mengganti
rugi sebesar Rp 5 Miliar atas laporannya pada polisi.
"Ya, kami gugat Yayuk mengganti rugi sebesar lima miliar
rupiah pada Rudy, biar nanti pengadilan yang memutuskan," ujar Viktor.
Sementara Rudy Marudut merasa bingung dengan tindakan Yayuk
yang melaporkan dirinya ke Polrestabes Surabaya dengan laporan dugaan tindak pidana
Undang-undang ITE hanya gara-gara mengirimkan sebuah pesan pribadi via WhatsApp.
Pesan ini ia kirimkan kepada Kasubag Pemerintahan, Ahmad Yardo Wifaqo.
"Bingung saya, padahal itu WA saya kirimkan pribadi
pada Yardo. Ini loh mas WA-nya," ujar Rudy sambil menunjukkan history terkait
konfirmasinya pada Yardo kala itu.
Dalam percakapan WhatsApp itu Rudy meminta informasi terkait
NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) program Jasmas murni tahun anggaran 2016.
"Ass. Met siang Pak bro, gmn kabrnya mhn info kpn bs NPHD utk Jasmas Murni
2017, Soalnya info dr pusat (jkt) yang
sdh komunikasi dgn Bu wali & Bu Yayuk lgs, bhw bu yayuk sdh memerintahkan
p.edy utk dpt sgra mnuntaskan jasmas hingga 2017 ini, gmn bro." Tulis Rudy
dalam WhatsApp pada Yardo.
Tragisnya, pesan WhatsApp itu membuat Yayuk mengambil
tindakan dengan melaporkan Rudy Marudut ke kepolisian. Pihak penyidik
Polrestabes langsung merespon laporan dan menetapkan Rudy sebagai tersangka.
Rudy oleh penyidik dijerat dengan pasal 45 ayat (1) jo pasal 27 ayat (3) UURI
Nomer 11 tahun 2008 yang diperbarui dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2016 tentang
ITE.
Unsur Jeratan pada pasal yang diterapkan penyidik itu membuat
Benhard, yang juga merupakan kuasa hukum dari Rudy, merasa janggal. Kejanggalan
itu oleh Benhard ditujukan pada oknum penyebar WhatsApp itu, yang sampai
sekarang belum ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik,
"Itu kan WhatsApp pribadi antara Rudy dengan Yardo,
terkait permohonan informasi. Harusnya penyidik terlebih dahulu menetapkan
tersangka pada penyebar chat itu, kalau memang permohonan informasi itu
dianggap suatu perbuatan pidana," tegas Benhard.
Benhard menjelaskan lebih lanjut, reaksi Yayuk yang
melaporkan Rudy pada polisi menurutnya akan menjadi momok tersendiri bagi
kalangan masyarakat. Setidaknya timbul persepsi, bahwa ada upaya pembungkaman
yang dilakukan oleh pejabat publik pada warga yang ingin mengakses informasi
publik.
Hal itu akan berdampak negatif pada citra birokrasi, karena
berupaya mempidanakan seorang warga negara yang memerlukan informasi yang
dibutuhkan.
"Ke depannya masyarakat akan mencap pejabat publik
tersebut sebagai momok dan monster, sehingga membuat ketakutan bagi kalangan masyarakat
untuk meminta dan memperoleh informasi yang dibutuhkan," jelasnya.
Aksi dukungan pada Rudy Marudut mulai berdatangan, bahkan dari
UKBH Unair. Lembaga bantuan hukum Unair ini tertarik untuk mengawal kasus yang
menjerat Rudy. Pasalnya, apa yang dilakukan Rudy untuk memohon informasi pada
pejabat publik itu di sambut dengan upaya kriminalisasi. (ar)