RADARMETROPOLIS: Kediri - Tim Satuan Tugas Anti Mafia Tanah Polda
Jatim menduga ada permainan mafia tanah di dalam kasus gugatan perdata
perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh Emi Asih (57) dan adiknya Lalan
Suwanto (41) terhadap ibu kandungnya Sumiati (72). Untuk itu tim mendatangi
tergugat di tempat tumpangan, di Rumah Karya Kelurahan Pojok, Kecamatan
Mojoroto, Kota Kediri, Sabtu (23/9/2017) siang.
"Kami merespon kejadian yang telah dimuat di media
sosial. Kami datang kemari dalam rangka mengumpulkan keterangan untuk kita
telaah dan kita gelarkan nantinya, guna mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang
ada, untuk mengetahui unsur pidananya," kata Komandan Tim Satgas Anti
Mafia Tanah Polda Jatim, AKBP Yudhistira, di Kediri.
Tim Satgas Anti Mafia Tanah yang terdiri dari tiga orang meminta
klarifikasi kepada Sumiati dan anak bungsunya Enik Murtini (40) selaku
tergugat. Petugas meminta berkas-berkas terkait kepemilikan atas rumah/tanah
mereka di Desa Ngablak, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri yang sudah
berpindah ke tangan Dwi Bijanto (60) warga Surabaya.
Dwi Bijanto merupakan pemenang lelang dari rumah Sumiati
yang telah dieksekusi karena kredit macet di Bank Danamon Simpan Pinjam Desa
Gringging, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri dan dilelang melalui KPKNL
Malang. Selain salinan sertifikat, juga dokumen waris, panggilan sidang, dan
pemberitahuan eksekusi.
Menurut Yudhistira dari klarifikasi yang dilakukan kepada
Sumiati dan anaknya memang ditemukan adanya kejanggalan-kejanggalan. Untuk itu
timnya akan melakukan konfrontir dengan pihak-pihak lain.
Ada satu nama yang disebut-sebut dalam klarifikasi dengan
Sumiati dan Enik Murtini. Nama tersebut adalah Bambang Suhartono, warga
Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Bambang merupakan perantara pengajuan
kredit ke bank, dimana Enik Murtini meminjam uang untuk modal usaha.
Berdasarkan data yang dihimpun, Enik Murtini mengenal
Bambang Suhartono pada 2011-20112 silam. Mereka terlibat komunikasi dalam hal
pinjam meminjam uang. Tanpa sepengetahuan penggugat, Enik menyerahkan
sertifikat tanah yang masih atas nama Muradi, almarhum ayahnya, sebagai jaminan
utang.
Sertifikat tanah dengan nomor 267 itu belum dipecah waris.
Sesuai surat hak waris yang dikeluarkan pemerintah desa hingga mengetahui
kecamatan, ada enam ahli waris yang berhak. Yaitu, Sumiati dan lima orang
anaknya.
"Saya matur sama pak Bambang butuh modal usaha. Saya
berikan sertifikat atas nama almarhum bapak sebagai jaminan. Tidak ada maksud
untuk meminjam uang ke bank, tetapi hanya ke pribadi pak Bambang. Sebab, kami
melihat beliau usahanya jauh lebih mapan (usaha jual beli material
bangunan)," kata Enik.
Ternyata Bambang Suhartono menjaminkan sertifikat itu ke
Bank Danamon untuk mengajukan kredit. Enik dan Ibunya serta dua orang anaknya
yang lain diajak ke notaris untuk tanda tangan.
Belakangan diketahui bahwa tanda tangan tersebut adalah
kesepakatan Akta Jual Beli (AJB) dari ahli waris almarhum Muradi kepada
Bambang. Tetapi dari keseluruhan ahli waris, dua orang penggugat tidak tahu-menahu
dan mereka juga tidak pernah tanda tangan.
"Saya akui itu kesalahan saya. Itu transaksi di bawah
tangan. Saya memang meninggalkan dua orang kakak. Saya begitu menyesal, kok
mau-maunya saya tanda tangan di hadapan notaris. Oleh karena itu, saat ini saya
takut jika sampai dilaporkan saudara sendiri ke Polda," ungkap Enik.
Pengajuan pinjaman kredit ke Bank Danamon atas nama Bambang
Suhartono disetujui Rp 120 juta. Dari jumlah itu, senilai Rp 70 juta diserahkan
kepada Enik Murtini, sedangkan sisanya dipakai Bambang Suhartono.
Bank memberikan jangka waktu pelunasan selama kurang lebih tiga
tahun. Sedangkan besar angsurannya yang harus mereka penuhi Rp 2,6 juta setiap
bulan. Enik Murtini mengaku sudah mengangsur sebanyak delapan kali. Sementara
Bambang titip angsuran kepadanya hanya tiga kali dengan jumlah masing-masing Rp
2 juta.
Tahun kedua Enik sudah tidak dapat mengangsur, karena usaha
ayam petelornya bangkrut. Bank kemudian melelang melalui KPKNL Malang.
Pemenangnya adalah Dwi Bijanto. Lalu, Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri
mengeksekusi pada Mei 2013 lalu.
"Kami tidak tahu apabila rumah akan dieksekusi karena
waktu itu surat peringatan jatuhnya ke pak Bambang. Kredit ke bank yang
mengajukan atas nama pak Bambang sedangkan saya utang secara pribadi," ujar
Enik.
Enik mengaku, dalam mediasi tingkat pertama, pihaknya sempat
menawar kembali rumahnya. Emi Asih, anak sulung Sumiati yang tinggal di
Bondowoso berniat menawar kepada pemenang lelang Dwi Bijanto. Tetapi harga yang
diberikan terlampau tinggi yakni Rp 350 juta, dan mediasi buntu.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, AKBP Yudhistira menyatakan
bahwasannya pihak-pihak yang terkait akan diklarifikasi. Diantaranya perantara
pinjam uang ke bank, pemenang lelang, notaris/ PPAT. Pihaknya juga masih
mengumpulkan barang bukti. Selain dari Sumiati dan Enik, tim juga bakal mencari
barang bukti ke BPN untuk mencocokkan kebenaran dari sertifikat nomor 267
tersebut.
"Untuk indikasi awal dari hasil klarifikasi tadi,
banyak orang yang terlibat. Sehingga kami menyimpulkan ada dugaan permainan
dari mafia tanah," tegasnya.
Terpisah, Priyo SH, selaku kuasa hukum Emi Asih, pihak
penggugat, gugatan perbuatan melawan hukum diajukan ke PN Kabupaten Kediri
karena pihaknya menemukan novum atau bukti baru. Yang ia maksud adalah hak
waris yang belum dipecah, tetapi beralih hak tanpa sepengetahuan ahli waris
yang sah, Emi Asih dan Lalan Suwanto.
"Klien kami termasuk ahli waris yang sah. Tetapi
ditinggalkan dalam proses peralihan hak itu. Oleh karena itu, kami minta
majelis hakim memutuskan untuk mengembalikan ke asal. Kami tidak ada niat
mengkomersialisasikan," kata Priyo.
Karena proses pemindahtanganan hak waris itu banyak yang terlibat,
termasuk ibu Sumiati, maka ibu kandung penggugatpun akhirnya ikut diperkarakan.
Pihaknya memohon ke majelis menetapkan kembali sertifikat atas nama Muradi yang
sah demi hukum. (bud)
0 comments:
Posting Komentar