RADARMETROPOLIS: Surabaya – Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan
Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang (DPRKP CTKR) Kota Surabaya dalam konteks
perizinan tidak mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan kebenaran materiil
terhadap dokumen persyaratan perizinan yang diajukan pemohon, sebagaimana
pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim peradilan pidana. DPRKP CTKR Kota
Surabaya hanya berwenang memeriksa dokumen yang diajukan oleh pemohon perizinan
secara administrasi dan secara substance.
Demikian menurut Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
Universitas Airlangga Surabaya, Indrawati, SH, LLM, Jumat (21/7/2017), di
ruangannya. Penjelasan yang ia sampaikan tersebut adalah berdasarkan konsep
perizinan yang disusun oleh Departemen Hukum Administrasi Negara Universitas
Airlangga Surabaya.
Pemeriksaan administrasi yang dimaksudkan oleh Indrawati adalah
pemeriksaan untuk meneliti apakah berkas yang diajukan pemohon telah memenuhi
keabsahan secara administrasi. Apakah di dalam berkas tersebut terdapat cacat
administrasi ataukah tidak. Sedangkan pemeriksaan secara substance adalah memeriksa
keabsahan atau kepalsuan dokumen.
Ketika diminta memberikan penjelasan tentang bagaimana wujud
kongkrit dari pemeriksaan secara substance, Indrawati memberikan contoh pemeriksaan
surat keterangan sakit dan Surat Ijo. Dalam hal ini menurutnya administrasi negara
mempunyai kewenangan untuk meneliti apakah surat keterangan sakit tersebut asli
atau palsu.
“Iki surat keterangane sehat, bener atau tidak,” kata
Indrawati yang sesekali menyelipkan bahasa Suroboyoan dalam penjelasannya.
Hal itu menurutnya dilakukan dengan cara menelepon kepada
pihak yang mengeluarkan surat keterangan sakit tersebut.
“Di dalam surat itu kan ada stempelnya. Untuk itu pemerintah
Kota Surabaya bisa calling kepada yang bersangkutan,” kata Indrawati.
Berikutnya ia menjelaskan contoh tentang pemeriksaan
keabsahan Surat Ijo. Dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya berhak memeriksa apakah
yang bersangkutan ini benar-benar memiliki atau sebagai pemilik surat ijo tersebut.
Juga, apakah telah atas nama yang bersangkutan beneran? “(Pemkot Surabaya)
mempunyai kewenangan untuk itu,” terang Indrawati.
Ia pun setuju pemeriksaan substance yang dimaksudkannya
adalah sama dengan pemeriksaan aktual yang selama ini diterapkan oleh badan
administrasi negara dalam menjalankan kewajiban hukum melakukan pelayanan publik.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa kewenangan pemeriksaan secara
substance tersebut memang dimiliki oleh DPRKP CTKR Kota Surabaya.
“Takutnya, nanti, setelah izin itu diloloskan, ternyata ada
dokumen palsu di dalamnya. Maka sejak saat itu, ketika diketahui kepalsuan dari
dokumen permohonan izin itu, keputusan izin ini yang dikeluarkan oleh instansi
dinyatakan batal demi hukum,” kata Indrawati.
Menurutnya tujuan dilakukannya pemeriksaan substance
terhadap dokumen yang diberikan kepada instansi atau OPD terkait di pemerintah
kota Surabaya itu adalah untuk mencari tahu apakah sah atau tidak, palsu atau
tidaknya dokumen.
“Mereka mempunyai kewenangan untuk memeriksa itu. Karena
terkaitnya nanti impact nya pada keputusan dia. Jika dia salah, dia loh digugat,”
kata Indrawati.
Namun, sekali lagi ditekankan oleh Indrawati, bahwa
kewenangan instansi perizinan di Pemkot tidak sampai pada pemeriksaan kebenaran
materiil. Seperti menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa yang diajukan oleh
pemohon adalah tidak sah.
Ketika dikonfirmasikan bahwa menurut penjelasan Kanwil BPN
Jatim bahwa surat tanah yang diajukan oleh pengelola Pasar Buah Koblen Surabaya
merupakan alas hak tanah yang diakui hukum, yang bersangkutan menolak
memberikan penjelasan. Menurutnya, seorang ahli Hukum Administrasi Negara tidak
mempunyai kompetensi menjelaskan tentang hukum pertanahan.
“Kalau terkait dengan pertanahan, mungkin nanti akan kami
berikan rekomendasi kepada teman kami yang mengajar hukum pertanahan. Kalau
izin, saya. Kalau administrasi, saya. Lebih enak kan. Lebih matang kan? Berikan
masalah itu kepada ahlinya,” tandas Indrawati.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa ranah Pemkot Surabaya adalah publik.
Sementara hubungan sewa-menyewa adalah ranah pribadi. “Karena itu ranah
pribadi, karena ranah privat, antara masyarakat dengan masyarakat, sudah
terikat kontrak, publik tidak bisa masuk ke dalamnya. Publik bisa masuk ke
dalamnya, jika seumpama, nuwun sewu, ada perjanjian sewa-menyewa tanah. Dan
tanah itu ternyata adalah mau dibebaskan lahannya untuk jalan raya. Untuk rumah
sakit,” katanya.
Terkait dengan bagaimana dan sampai dimana kewenangan dari Organisasi
Perangkat Daerah di bawah Pemerintah Kota Surabaya, alumnus Fakultas Hukum
Unair itu mengatakan bahwa dengan adanya PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah (OPD) maka pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia harus menyusun
perda tentang organisasi perangkat daerah.
Yang mana dengan adanya perda tersebut pemerintah kabupaten/kota
mendapat tugas untuk melakukan penilaian terhadap kinerja masing-masing OPD sesuai
kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya dengan berdasar pada hasil penilaian itu,
maka demi efisiensi anggaran pemerintah kabupaten/kota harus melakukan merger
atas beberapa OPD yang nilainya atau rapornya jelek.
Dalam perda itu kewenangan OPD akan diderivasi masing-masing
dalam keputusan walikota-keputusan walikota. Dengan demikian kewenangan
masing-masing OPD dapat diketahui dengan sangat jelas. Termasuk kewenangan OPD
dalam menjalankan fungsi perizinan.
Terkait dengan kewenangan masing-masing OPD itu, Indrawati
mengatakan bahwa pemerintah Kota Surabaya mempunyai perda yang baru disahkan. Disini
tertulis secara kongkrit kewenangannya disitu itu apa. Sehingga mereka tidak
bisa saling lempar dalam melayani masyarakat.
“Ketika itu uncal-uncalan, hati-hati. Jika pelayan publik
uncal-uncalan dan masyarakat dirugikan maka itu masuk mal administrasi,
pelayanan yang buruk. Pencapaian pelayanan publik tidak tercapai. Capaian-capaian
dari pemerintah kota Surabaya juga tidak tercapai karena pelayanan publik yang
uncal-uncalan itu,” tegas Indrawati.
Pernyataan yang disampaikan di atas, menjawab permasalahan
perizinan yang terjadi di Dinas PRPK CKTR Surabaya. Telah terjadi
ketidakjelasan prosedur di dalam penanganan permohonan perizinan SKRK yang
diajukan oleh Pasar Buah Koblen yang berbasis pada kewenangan.
Yang mana berkas pemohon telah dinyatakan lengkap oleh UPTSA
Siola Surabaya Pusat (dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Jadwal Pengukuran
oleh UPTSA, dan bahkan, telah dilakukan pengukuran oleh petugas ukur DPRPK
CKTR) tetapi kemudian ditolak DPRPK CKTR dengan alasan berkas tidak lengkap.
Menurut pihak UPTSA Siola, sesuai Perda Surabaya Nomor 28
tahun 2013 kewenangan melakukan pemeriksaan berkas administrasi ada di UPTSA.
Sedangkan dinas yang dipimpin Eri Cahyadi (DPRPK CKTR Kota Surabaya) hanya
mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan persyaratan teknis. Sementara itu
Eri Cahyadi mengakui bahwa berkas yang diajukan oleh pengelola Pasar Koblen
secara administrasi sudah lengkap, tetapi yang bersangkutan terpaksa menolak
karena takut diperkarakan oleh jajaran samping, yakni pihak kepolisian dan
kejaksaan.
“Masyarakat punya ruang partisipasi publik terkait kinerja
mereka. Kita kembalinya kepada mal aministrasi dalam pelayanan publik. Sudah
jelas sekali. Tidak sepantasnya mereka uncal-uncalan, hari gini. Apalagi dengan
bu Risma yang sangat keras. Pastilah, mereka antara SKPD (OPD) satu dengan SKPD
(OPD) lainnya sudah jelas kewenangan dan tupoksi mereka masing-masing. Pasti Bu
Risma marah sekali,” jelas Indrawati.
Namun dalam prakteknya ketidakjelasan kewenangan tersebut
terjadi. “Ya, kenyataannya tidak seperti
itu,” Indrawati mengakui bahwa di dalam pelaksanaannya tidak sesuai harapan.
Menurutnya saling lempar dan ketidakjelasan kewenangan itu
terjadi karena pihak OPD mungkin masih belum memahami atau membaca tentang
perda perangkat daerah itu. “Apa sih kewenangan mereka masing-masing? Perda itu
kan masih baru. Dan beberapa keputusan walikota masih belum dibentuk terkait
dengan itu,” kata Indrawati.
Ia mengibaratkan seperti anak kecil yang sedang belajar
berjalan. Sebab, ada beberapa SKPD yang digabung, ada SKPD yang dipisah, dan
ada SKPD yang dibuyarkan. Itu yang akhirnya membuyarkan atau membuat bias kewenangan
masing-masing dari perangkat daerah.
Untuk itu ia meminta Pemerintah Kota Surabaya berhati-hati
dalam melakukan tindakan pemerintah. Sebab setiap pemerintah dalam Undang-Undang
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diberikan kewenangan. Tapi
ketika kewenangan itu dijalankan salah, akan berimbas pada tindakan mereka
sendiri.
“Apa artinya? Ketika mereka salah dalam mengambil kebijakan,
apalagi kebijakan anggaran, bahaya sekali. Larinya bisa mal administrasi, bisa
penyalahgunaan wewenang. Larinya bisa korupsi,” kata Indrawati.
Karena PP 30 Tahun 2014 sudah sangat jelas mengatur. Apakah
itu tindakan melampaui kewenangan, mencampuradukkan kewenangan ataukah
bertindak sewenang-wenang. Ada kriteria-kriteria tertentu, ketika pejabat
pemerintah melakukan tindakan pemerintah. Dia mengulur-ulur, dia salah ataupun
dia menggunakan kewenangan dengan seenaknya sendiri. (erha)
0 comments:
Posting Komentar